Elang dan Selendang Cakra Sakti

Oleh Hendriyatmoko
Guru SMK Muda Cepu dan Anggota Satupena Kabupaten Blora

MUDAPEDIA – Gunung Purwo Suci menyimpan banyak cerita. Angin yang berhembus di lerengnya bukan sekadar pembawa hawa dingin, melainkan juga bisikan tentang para pendekar yang mengabdikan hidup mereka pada jalan kebaikan. Di antara mereka, nama Priyo dan Erlena mulai menjadi legenda.

I. Pertemuan Dua Takdir

Priyo adalah murid utama dari Jiantarto, pendekar tua yang dihormati di seantero Purwo Suci. Tegas dan bijaksana, Priyo menjadi harapan terakhir sang guru untuk menurunkan jurus Elang Cakra Sakti, ilmu pamungkas yang hanya diwariskan pada murid yang sepenuhnya patuh dan tak pernah sombong.

Sementara itu, di sisi timur lembah, di bawah bimbingan Entantri yang keras dan berprinsip, tumbuh seorang gadis cantik bernama Erlena. Lembut hatinya, sabar jiwanya, namun tangguh dalam menghadapi tantangan. Ia telah menguasai jurus Selendang Cakra Sakti, seni bela diri yang menari seiring angin dan membawa maut dalam kelembutan.

Priyo dan Erlena pertama kali bertemu saat menolong sekelompok warga yang diserang perampok hutan di daerah Gubug Sakti. Tanpa saling mengenal, mereka bertarung bahu membahu, hingga akhirnya berhasil menyelamatkan para korban. Saat mata mereka bertemu, waktu seolah berhenti. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata, seolah takdir lama yang terlupakan baru saja terbangun.

II. Warisan Cinta yang Tertunda

Apa yang tidak diketahui oleh Priyo dan Erlena adalah bahwa guru mereka, Jiantarto dan Entantri, dulunya adalah sepasang kekasih yang tidak direstui oleh sang guru besar mereka. Demi menjaga kehormatan perguruan, mereka memutuskan berpisah, namun berjanji, jika kelak murid-murid terbaik mereka saling jatuh cinta, maka cinta itu harus mereka dukung sepenuh hati.

“Sudah waktunya,” gumam Jiantarto sambil memandang langit saat melihat Priyo mulai sering menyebut nama Erlena.

“Dia cocok dengan Erlena. Dan aku tahu, kamu juga sudah melihatnya,” ujar Entantri suatu malam. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, mereka saling tersenyum seperti masa muda dulu.

III. Petualangan ke Lembah Hitam

Ketika desa Karangjati diserang oleh Bayu Kelana, pendekar sesat yang menguasai jurus Badai Hitam, para pendekar muda dikumpulkan. Priyo dan Erlena ditugaskan memimpin rombongan: Wiro si pemberani, Dewo si pengintai ulung, Jarwo dan Kunto si kembar yang selalu kompak, serta para pendekar wanita: Dian, Asih, Wati, Murni, dan Dewi, yang semuanya berasal dari berbagai perguruan kecil di sekitar Purwo Suci.

Dalam perjalanan ke Lembah Hitam, banyak ujian yang mereka hadapi. Priyo menunjukkan ketegasannya saat harus memilih menyelamatkan warga daripada mengejar musuh. Erlena mengobati luka teman-temannya dengan penuh kasih, bahkan memeluk Asih yang hampir kehilangan harapan.

Hubungan mereka tumbuh dalam diam. Setiap malam saat semua tertidur, mereka saling bercerita. Tentang masa kecil, tentang impian, dan tentang rasa yang tumbuh di hati tanpa mereka sadari.

IV. Pertarungan Terakhir dan Janji di Atas Tebing

Di Lembah Hitam, Bayu Kelana sudah menunggu. Dengan kekuatan badai dan ilmu hitam, ia nyaris membunuh Kunto dan Jarwo. Tapi Priyo melindungi mereka, bangkit dengan semangat tak tergoyahkan. Bersama Erlena, mereka menggabungkan jurus Elang Cakra Sakti dan Selendang Cakra Sakti untuk pertama kalinya.

Kekuatan gabungan mereka menciptakan pusaran cahaya berbentuk elang yang menjalin selendang merah menyala—simbol dari dua hati yang menyatu dalam keberanian dan cinta. Bayu Kelana tak mampu menahan serangan itu. Ia tumbang, dan Lembah Hitam akhirnya bebas dari kutukan.

Di tebing Gunung Purwo Suci, tempat angin menyanyikan lagu para pendekar, Priyo dan Erlena berdiri berdampingan.

“Apakah ini… restu dari langit?” tanya Erlena lirih.

“Bukan hanya dari langit. Tapi juga dari dua hati yang pernah mencinta, dan kini melihat cinta itu lahir kembali dalam kita,” jawab Priyo seraya menatap lembut matanya.

Dari kejauhan, Jiantarto dan Entantri menyaksikan. Jiantarto, yang biasanya gagah, mulai clengekan—air matanya jatuh tanpa malu. Entantri hanya tersenyum dan berkata, “Kali ini, biarlah mereka yang menulis akhir cerita.” (*)

Related posts
Tutup
Tutup