Imron, Sang Penakluk Pasar Wonorejo

Oleh; Mochamad Taufik
Alumnus IPA 1 SMAN Bangil 1986

MUDAPEDIA.COM – Pagi baru saja menyingkap embun, tapi deretan orang sudah antre di depan kios “Sumber Rezeki”. Mereka rela menunggu meski matahari belum sehangat kopi pagi. Di balik meja panjang, seorang lelaki dengan senyum sabar menyambut satu per satu pelanggan.
Itulah Imron.

Pedagang pasar yang kini bukan hanya dikenal di Pasar Wonorejo, Pasuruan, tapi juga di hati setiap pelanggannya.
Tak ada yang menyangka, pria bersahaja itu dulunya hanya menyewa kios kecil ukuran 2 x 1 meter. Dulu, saat masih usia 12 tahun sering menemani ibunya berjualan sabun, detergen, dan minyak goreng di kios sempit yang hanya cukup untuk dua orang berdiri. Tapi dari sanalah semua bermula.

Setelah lulus dari SDN Bendomungal 1, SMP Negeri 1 Bangil, dan SMAN Bangil, Imron tak melanjutkan kuliah. Tapi hidup memberinya ruang belajar yang lebih luas—kuliah nyata dalam menaklukkan hati pelanggan, yang nilainya setara bahkan mungkin melebihi gelar S2 Ekonomi Islam.

Ia memulai usahanya dari nol. Menyewa kios sederhana di Pasar Wonorejo, mengambil barang dari grosir dengan sistem tempo, dan melayani sendiri pembeli dengan senyum dan doa dalam hati. Barang yang dijual mungkin sama dengan kios lain, tapi pelayanannya tidak.

Imron memperlakukan pembeli sebagai raja, dengan penuh kesabaran dan ketulusan. Sang istri setia mendampinginya setiap pagi, ikut melayani dengan ramah. Beberapa pembantu juga ikut membantu, tapi aura dari kesungguhan Imron tak tergantikan.
Kini, kiosnya selalu ramai. Bahkan saat kios lain masih banyak yang tutup, kios Imron sudah diserbu. Namun saat jarum jam mendekati pukul sebelas siang, kios itu tutup. Orang heran, kenapa tutup saat masih ramai?
Jawabannya ada di rumahnya.

Rumah besar di pinggir kota, dengan dua mobil mewah di garasi dan ruang depan yang dipenuhi tumpukan sembako. Di sanalah para sales dari distributor datang silih berganti. Imron memantau semuanya dengan tenang sambil tetap ramah menerima tamu.

Namun kesuksesan itu tidak datang tanpa luka.
Imron pernah jatuh. Bahkan sangat dalam. Saat bisnisnya sedang naik-naiknya, ia ingin membeli rumah tambahan untuk dijadikan gudang sembako. Tapi ternyata penjualnya curang. Sertifikat ganda. Transaksi yang awalnya sah, ternyata palsu.
Ia tertipu hampir setengah miliar rupiah. Air mata sang istri menjadi saksi malam-malam penuh doa dan kesabaran. Tapi Imron tak membalas dengan dendam. Ia membalas dengan bangkit. Ia kembali ke pasar, bekerja lebih keras, berhemat, dan tetap jujur.
“Kalau niat kita baik, Allah pasti bukakan jalan,” katanya.
Dan benar. Satu per satu jalan terbuka. Rezeki kembali mengalir. Lebih deras dari sebelumnya.
Hari ini, Imron sudah menunaikan ibadah haji, berdua bersama sang pujaan hati—istri tercintanya. Bukan dari utang, bukan dari warisan. Tapi dari keringat dan air mata perjuangan. Dari ratusan kilo beras yang dipikul, dari ribuan dus mie instan yang ditata, dari pelayanan sabar kepada setiap pelanggan.
Bagi Imron, kesuksesan bukan soal angka. Tapi tentang bagaimana ia berdiri kembali setelah jatuh, dan tetap menjaga nilai kejujuran di tengah derasnya godaan dunia.
Di tengah gempuran ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart yang menjamur hingga pelosok desa, Imron membuktikan bahwa bisnis ritel tradisional tetap memiliki daya saing. Kunci suksesnya terletak pada fokus yang tak tergoyahkan pada pelayanan pelanggan. Ia memperlakukan setiap pembeli dengan ramah, sabar, dan tulus, menciptakan pengalaman berbelanja yang personal dan sulit ditandingi oleh ritel modern. Selain itu, Imron selalu menjaga kualitas dan kelengkapan produk di kiosnya, memastikan pelanggan mendapatkan barang yang mereka butuhkan dengan mutu yang baik. Hubungan baik dengan pemasok juga menjadi modal penting untuk mendapatkan harga yang kompetitif. Sebagai pedagang tradisional, Imron memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan jenis barang dagangan sesuai permintaan pasar lokal, sebuah keunggulan yang sulit dimiliki oleh minimarket dengan sistem terpusat. Meskipun dengan anggaran terbatas, promosi kreatif dari mulut ke mulut dan spanduk sederhana yang menarik tetap efektif menarik pelanggan. Tak kalah penting, inovasi dalam layanan, seperti kemungkinan pesan antar atau pembayaran digital, dapat memperluas jangkauan pelanggan. Terakhir, pemilihan lokasi strategis di dalam pasar yang mudah diakses juga turut mendukung kelancaran usahanya. Dengan mengedepankan nilai-nilai ini, Imron berhasil tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di tengah persaingan yang ketat.
Suatu hari, ketika anak-anak muda mewawancarainya untuk konten inspirasi bisnis, ia hanya berkata:
“Saya memang belum kuliah. Tapi saya sudah belajar langsung di pasar. Kalau kamu bisa menaklukkan hati pelanggan, itu sudah lebih dari cukup.”
Dan semua pun sepakat. Imron bukan hanya pedagang sembako, ia adalah pahlawan Pasar Wonorejo—yang membuktikan bahwa jatuh itu biasa, tapi bangkit dan tetap jujur itulah yang luar biasa. (*)

#menuliscerpenpramuka&persahabatan Cerpen ke 25

Related posts
Tutup
Tutup